Demam Korea Mulai Melanda China
Ketika drama My Love from the Star melanda China, popularitas budaya pop Korea semakin meroket di sana. Fans di negeri itu membanjiri toko-toko dan kafe-kafe Korea, berpose dengan poster drama My Love from the Star seukuran manusia, dan meniru karakter utama dari drama itu, yang bercerita tentang seorang alien berbentuk manusia yang jatuh cinta dengan seorang gadis. Pada pertemuan Politbiro Partai Komunis, ada pertanyaan tentang mengapa China tidak punya pengaruh seperti itu.
Para komentator menghubungkan fenomena ini dengan “kekuatan halus” dalam hubungan internasional. Namun, untuk benar-benar meningkatkan prestise internasional, perlu ada sesuatu yang lebih dari sekedar lagu-lagu dan acara televisi.
Korea telah menjadi tujuan wisata yang semakin populer. Pada bulan Maret 2014, kunjungan wisatawan naik 12 persen dibandingkan dengan tahun lalu. Namun penelitian yang lebih detail menunjukkan bahwa 82 persen dari para pengunjung berasal dari Asia dan kebanyakan dari China, yang tingkat pertumbuhannya melebihi 50 persen. Negara ini demikian berhasil dalam menarik wisatawan. Ketertarikan wisatawan Barat telah menurun dan jumlah wisatawan Jepang juga menurun, menunjukkan bahwa hubungan bilateral yang tegang akhirnya memberikan pengaruh yang lebih besar daripada budaya pop.
Jepang adalah suatu persamaan yang menarik. Hong Kong dan Taiwan menikmati budaya Jepang dalam bentuk kartun, drama, dan musik pada era 1980-an hingga 1990-an. Banyak orang memilih Jepang sebagai tujuan wisata, mempelajari bahasa Jepang sebagai bahasa ketiga, atau berlatih seni bela diri Jepang.
Kemudian selera mulai berubah. Pendengar lagu Jepang secara bertahap beralih ke pop Korea sementara drama Korea menyusul naik pamornya. Pada tahun 2012, penyanyi Psy datang dan menggebrak dunia dengan Gangnam Style, sebuah lagu viral yang menempatkan Korea dalam sorotan internasional.
Pergeseran Jepang-Korea adalah bukti bahwa budaya pop -seperti mode- datang dan pergi. Beberapa orang mengatakan bahwa acara televisi Korea lebih kreatif dan lebih baik dalam mempertahankan “efek wow”. Para penonton mendambakan kejutan.
Tapi di luar humor dan hiburan, tidak ada budaya, moral, politik, dan cita-cita yang mendasari kekuatan halus ini; Budaya pop Korea adalah murni produk dari mesin marketing Korea. Hal ini kontras dengan revolusi Amerika dan gerakan-gerakan yang diilhaminya di Amerika Latin atau gagasan tentang hak asasi manusia universal yang berkembang setelah Perang Dunia II.
Meski tampak menarik, drama Korea tidak selalu mencerminkan realitas. Seperti Jepang, budaya Korea tetap sangat eksklusif. Hal ini terbukti dalam urusan bisnis, di mana sebagian besar bisnisman Korea lebih memilih untuk berurusan dengan rekan-rekan sesama Korea. Yang lebih buruk, orang-orang non-Korea di ruang pertemuan yang sama akan diabaikan.
Kampanye pemasaran “kekuatan halus” ini juga bisa dihubungkan dengan persepsi bahwa Korea sangat putus asa untuk meninggikan budayanya sendiri. Contohnya termasuk klaim penemuan beberapa karakter China serta kewarganegaraan dewa Buddha. Beberapa tuduhan itu kemudian berakhir sebagai rumor, namun pandangan seperti itu melemparkan kesan yang kurang baik.
Cukup spekulatif untuk mengatakan bagaimana tren ini akan bergeser. Tetapi meski media Korea terus tumbuh, posisi global pada akhirnya harus tetap didasarkan pada warisan ekonomi dan politik di panggung internasional, bukan sekedar alur cerita drama dan film yang tidak realistis.